Jakarta –
Momen tergelap dalam hidupnya menyergap pada 9 Juni 2017. Hari itu dia mendapat kabar belahan jiwanya, Asror Muhammad, tinggal jasad usai memimpin salat. Tak ada keluh kesah penyakit sebelumnya.
“Itu yang membuat saya terpukul hebat. Hidup saya tiba-tiba terasa gelap pekat. Kenapa harus Aa yang sehat waláfiat, bukan tetangga sebelah yang sudah lama menderta karena sakit,” Awanilah Amva membuka cerita ikhwal perjalanan karirnya dipercaya untuk memimpin seribu santri di Pesantren Kebon Jambu al-Islamy, Cirebon.
Adalah kakak sulungnya, Nyai Masriyah Amva, pendiri pesantren tersebut yang melantiknya menjadi Pemimpin cuma selang tiga hari pasca wafatnya Asror Muhammad. Ketika rasa duka masih pekat, amanah itu tentu semula menjadi beban tersendiri. Apalagi dia sadar seorang perempuan memimpin pesantren lelaki seperti menyalahi tradisi. Kakak lelakinya termasuk yang menentang keputusan Nyai Masriyah.
“Tapi Nyai tetap dengan keputusannya. Dia terus meyakinkan bahwa saya mampu,” ujar Awanilah. Perempuan kelahiran 1979 itu pernah nyantri di Pesantren al-Amien Madura, dan di Pondok Aris Kaliwungu, Kendal.
Keputusan Nyai Masriyah tak meleset. Di bawah pengelolaan Awanilah, Pesantren Kebon Jambu al-Islamy berkembang pesat dengan baik. Awanilah memperluas lahan dan menambah bangunan untuk menampung para santri dan fasilitas belajar-mengajar. Dia juga yang mewajibkan seragam bagi para santri, selain membuat sejumlah aturan untuk membina mereka agar hidup mandiri dan penuh disiplin.
Setiap kali mengajar para santri menghormati Awanilah Amva sebagai guru dan pemimpin tanpa mengaitkannya dengan jenis kelamin.
Dia terur berinovasi memajukan pesantrennya. Beberapa bulan lalu, di halaman depan gerbang pesantren berdiri Kafe Jambu. Menunya yang ditawarkan didominasi dari buah jambu. Kafe itu sekaligus menjadi ajang pelatihan bagi para santri dan santriwati untuk berwirausaha.
Di tengah kesibukannya mengelola pesantren dan membesarkan ketiga anaknya, Qaisra Maula Fayumi, Mayla Nafisah Aeni, dan Ahmad Muhammad, dia seperti mendapatkan mukjizat tersendiri. Kemampuan untuk menulis puisi. Di sela-sela kesempatan perjalanan berbagai daerah dan sejumlah negara bermunculan goresan-goresan puisi.
Dari sederet puisi yang terangkum dalam buku “9-06-17”, masih terasa kental kepedihannya ditinggal sang suami. Meski ada satu-dua berisi motivasi, membangkitan diri sendiri, juga kepasrahan menjalani suratan Illahi Robi.
Awanilah Amva dan suami, Asror Muhammad di Mesir Foto: Dok. Pribadi
|
“Aku terbiasa disapa luka yang tak ramah / Ketika perih doaku berdarah-darah,” demikian salah satu goresan puisinya yang ditulis saat berada di Jepang, 18 November 2018.
Di ruang tamu pendoponya, puisi ini dia bingkai khusus. Sebab di dalamnya tertoreh tanda tangan penyair terkemuka asal Madura, Zawawi Imron dengan tanda waktu, 31 Januari 2020.
(jat/jat)