Arahkompas.com – Bali diguncang bencana banjir parah setelah hujan ekstrem mengguyur wilayah itu selama lebih dari 24 jam tanpa henti. Peristiwa yang disebut terburuk dalam sepuluh tahun terakhir ini menewaskan sembilan orang, menyebabkan dua orang hilang, serta memaksa ratusan warga dan wisatawan asing dievakuasi. Enam kabupaten/kota terdampak banjir, yaitu Denpasar, Jembrana, Gianyar, Klungkung, Badung, dan Tabanan. Pemerintah menetapkan status tanggap darurat selama satu pekan untuk mempercepat penanganan.
Kondisi tersebut menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Banyak warga mengungkapkan tuntutan mereka agar penanganan bencana dilakukan secara serius dan berkelanjutan, bukan sekadar darurat sesaat. Mereka mendesak pemerintah memperkuat sistem peringatan dini banjir, memperbaiki infrastruktur drainase, serta melakukan normalisasi sungai yang sering meluap.
Masyarakat juga meminta adanya perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Mereka menilai evakuasi harus diprioritaskan dengan akses yang aman, cepat, dan tidak diskriminatif. Selain itu, warga menuntut pemerintah daerah segera memberikan bantuan logistik, obat-obatan, dan fasilitas kesehatan yang memadai di posko pengungsian.
Di sektor pariwisata, pelaku usaha menekankan agar pemerintah tidak hanya fokus pada pemulihan darurat, tetapi juga merancang strategi mitigasi jangka panjang. Hal itu penting agar kejadian serupa tidak kembali menutup akses wisata dan merugikan pekerja lokal yang bergantung pada industri pariwisata. Mereka juga menginginkan pemerintah memberi kepastian informasi kepada wisatawan asing agar tidak menimbulkan kesan negatif tentang keamanan Bali.
Warga Bali yang tinggal di daerah rawan banjir menyuarakan tuntutan untuk relokasi yang lebih layak. Mereka berharap pemerintah menyiapkan hunian sementara yang manusiawi, bukan sekadar tenda darurat. Selain itu, muncul pula aspirasi agar anggaran penanggulangan bencana tidak dipangkas demi kebutuhan lain, sebab keselamatan masyarakat harus ditempatkan di atas segalanya.
Lalu lintas yang lumpuh di beberapa titik strategis, termasuk Underpass Simpang Dewa Ruci dan akses menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai, semakin memperkuat desakan masyarakat. Mereka meminta solusi permanen berupa sistem drainase modern yang mampu menahan curah hujan ekstrem, mengingat Bali kerap menjadi destinasi internasional.
Selain aspek teknis, warga juga menekankan pentingnya edukasi publik mengenai kesiapsiagaan bencana. Mereka menuntut adanya pelatihan rutin di tingkat desa dan kelurahan agar masyarakat memahami langkah evakuasi mandiri. Dengan begitu, risiko korban jiwa bisa ditekan jika banjir besar kembali terjadi.
Bencana kali ini membuka mata banyak pihak bahwa Bali tidak hanya memerlukan pemulihan sesaat, tetapi juga rencana jangka panjang yang menyentuh seluruh aspek kehidupan. Dari perlindungan masyarakat hingga keberlangsungan pariwisata, tuntutan warga jelas menunjukkan kebutuhan mendesak akan langkah nyata dan konsisten dari pemerintah.

