Site icon Berita Terkini

Pemerintah Rencanakan Pelarangan Pertalite untuk Pengemudi Ojol, Menuai Kontroversi

Pemerintah Rencanakan Pelarangan Pertalite untuk Pengemudi Ojol, Menuai Kontroversi

Pemerintah Rencanakan Pelarangan Pertalite untuk Pengemudi Ojol, Menuai Kontroversi

Arahkompas.com – Rencana pemerintah pusat untuk melarang penggunaan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite bagi pengemudi ojek online (ojol) menuai banyak kritik. Sebagian besar pengemudi ojol menganggap kebijakan ini tidak adil dan akan menambah beban operasional mereka yang sudah berat.

Adit, seorang pengemudi ojol di Sidoarjo, menyatakan kekhawatirannya. “Ongkos nambah, beban nambah,” ujarnya singkat. Ia menjelaskan bahwa meskipun pendapatannya dari aplikasi tetap, kenaikan biaya operasional akibat kebijakan ini akan memangkas penghasilan bersihnya.

Penolakan dari Asosiasi Ojol

Asosiasi Pengemudi Ojek Daring Garda Indonesia menyampaikan penolakan tegas terhadap rencana ini. Ketua Umum Garda Indonesia, Igun Wicaksono, menyebutkan bahwa jika kebijakan tersebut diterapkan, aksi protes besar-besaran tidak dapat dihindarkan.

“Kami akan menggelar aksi nasional jika pemerintah tetap melanjutkan rencana ini,” ujar Igun. Ia juga menyoroti pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang menyebut pengemudi ojol tidak memenuhi kriteria penerima subsidi. Pernyataan ini dinilai merendahkan posisi pengemudi ojol.

Dedik, pengemudi ojol dari Surabaya, menambahkan bahwa kebijakan ini tidak hanya berdampak pada pengemudi, tetapi juga pada pengguna layanan. “Kalau tarif naik, masyarakat pasti pikir-pikir lagi pakai ojol,” katanya.

Baca juga: Pemerintah Berencana Naikkan Tunjangan Guru Non-ASN Bersertifikasi

Pandangan Ahli dan Tantangan Kebijakan

Dari sudut pandang ahli, Mulyanto, perwakilan Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI), menilai kebijakan ini sulit diterapkan secara teknis. “Teknologi saat ini belum mampu membedakan kendaraan ojol dan kendaraan pribadi berdasarkan data yang tersedia,” ungkapnya.

Ia juga menyoroti dampak ekonominya. “Kenaikan biaya bahan bakar akan menekan jumlah pesanan, sehingga pendapatan pengemudi berkurang. Ini menjadi tantangan serius bagi mereka yang menggantungkan hidup dari profesi ini,” tambah Mulyanto.

Selain itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada perbaikan perlindungan kerja bagi pengemudi ojol. Menurutnya, langkah ini lebih mendesak dibandingkan menambah beban mereka dengan kebijakan baru.

Masalah Kriteria dan Dampak Sosial

Masalah utama dalam kebijakan ini adalah kriteria penerima subsidi. Menurut Menteri ESDM, pengemudi ojol tidak termasuk kategori transportasi umum karena kendaraan mereka tidak menggunakan pelat nomor kuning. Hal ini memicu perdebatan mengenai status hukum ojek online sebagai bagian dari transportasi publik.

Gusti Made, pengemudi ojek online asal Denpasar, menyebut kebijakan ini dapat memaksa mereka menaikkan tarif. “Kalau tarif naik, penumpang pasti berkurang. Ini seperti buah simalakama,” keluhnya.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak pengemudi ojol bergantung pada penghasilan harian untuk memenuhi kebutuhan dasar. Kebijakan ini dianggap tidak adil bagi sektor informal yang minim perlindungan.

Harapan pada Kebijakan Alternatif

Sebagai alternatif, pemerintah berencana merevisi mekanisme distribusi subsidi. Menteri Bahlil mengusulkan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagai solusi. Namun, banyak pengemudi meragukan keadilan dalam penerapan skema ini.

Minimnya komunikasi antara pemerintah dan pengemudi juga menjadi perhatian. Para pengemudi berharap ada dialog yang lebih terbuka untuk mencari solusi bersama.

Ke depan, pengemudi ojol berharap pemerintah mengambil kebijakan yang lebih adil. Kolaborasi antara pemerintah dan asosiasi pengemudi sangat diperlukan untuk menciptakan keputusan yang tidak hanya mendukung keberlanjutan profesi, tetapi juga menjaga aksesibilitas layanan bagi masyarakat.

Exit mobile version